Oleh: Muhammad Syarif*
Sore itu, Jum`at 14
Februari 2014 seperti biasanya saya membeli nasi goreng kesukaan di Punge,
tiba-tiba seorang pak tua menjumpai seorang pemuda namanya Satria (bukan nama
asli). Pak tua ini bermasuk baik, ingin mengatakan bahwa di wilayah ini akan di
pasang Baliho/Spanduk salah seorang calek DPRA. Lalu terjadi perang urat saraf,
dimana pemuda tersebut melarang pak tua itu memasang atribut kampanye berupa
Baliho/Spanduk dan sejenisnya sebelum beliau menghadap secara resmi kepadanya. Mungkin
dugaanku tempat rencana pemasangan Spanduk/Baliho adalah wilayah yuridiksi
simpatisan atau pendukung anak muda tersebut.
Singkat cerita paktua itu
kesal dengan gayanya pemuda yang langsung mengatakan didepan kalayak rame bahwa
jangan pasang Baliho/Spanduk kalau belum ketemu saya. Pak tua tersebut, ngomel-ngomel”
ada-ada saja, kok dia larang, nyoe ka gawat...dst. ini adalah sepenggal kisah
politik menjelang pemilu legislatif April 2014. Tentu suhu politik
dimasing-masing daerah sangat pariatif. Ada yang bertenagan tinggi, rendah, dan
ada juga daerah yang adem-adem ayem saja.
Ini potret awal, gara-gara
calon legislatif (Caleg) simpatisan, pendukung, Kader Parpol diakar rumput
berpotensi adu mulut bahkan adu jotos. Banyak kasus terjadi perkelahian,
pembunuhan terjadi gara-gara atribut partai politik di pasang atau dicabut oleh
orang lain atau lawan politiknya.
Lalu apakah kondisi ini
dibiarkan saja...? “hana soe peureumen” alias tidak banyak orang yang mau ambil
pusing dengan persoalan-perseolan seputar “tensi politik bertengangan tinggi”.
Dimoment lain saya
menemukan adanya pemukulan salah seorang Caleg gara-gara dipasang Spanduk di
lokasi yang tokonya yang barang kali pemilik toko bukan simpatisan Partai
tersebut. Tentu kita sangat berharap kedewasaan politik muncul di pesta
demokrasi 2014.
Kalau kita mau jujur
memang Iklan politik saat ini sudah berserakan. Para peserta pemilu tidak
mengindahkan aturan yang ada seperti UU No.8 Tahun 2012, PKPU No.15 Tahun 2013
tentang perubahan atas PKPU No. 1 Tahun2013 serta Surat KPU No.664/KPU/IX/2013.
Media massa pun sudah ikut nimbrung melanggar aturan tersebut hal ini
sebagaimana opini Sapah Politik di Ruang Publik
yang ditulis oleh Mashudi SR (HR SI/Sabtu 15 Februari 2014). Liberalisme
demokrasi politik yang melanda bangsa ini sudah meruntuhkan bangunan ideologi
parpol dan media dan pada saat yang sama pragmatisme tumbuh dengan subur cetus
Mashudi selaku aktifis Pemuda Muhammadiyah Aceh.
Untuk itulah sudah saatnya
rakyat harus lebih cerdas dan dewasa. Biarkan para Politisi berjuang dengan
caranya, kita tidak perlu adu jotos, apa lagi fakta selama ini sudah terlihat
para caleg hanya bertabur janji manis saat kampanye, dimana saat terpilih
mereka pada lupa akan janjinya. Wallahu `alam bishawab.
*Penulis Direktur Aceh Research Institute
Tidak ada komentar:
Posting Komentar