Oleh :
Muhammad Syarif
Prolog
Sejak lahirnya Undang-Undang No. 11
Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, banyak hal fundamental berkaitan dengan
penerapan syariat Islam di Aceh. Dasar hukum pelaksanaan syariat Islam itu
sendiri awalnya dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Keistimewaan Aceh.
Pelaksanaan syariat Islam tidak
secara eksplisit dinyatakan dalam Undang-Undang ini hanya menyatakan bahwa
keistimewaan dalam kehidupan beragama diwujudkan dalam bentuk pelaksanaan
syariat Islam bagi pemeluknya, pengaturan lebih lanjut diserahkan kepada
peraturan daerah. Tentu saja karena syariat Islam diataur dengan Perda/Qanun
maka normatifnya sangat lemah.
Setelah lahirnya Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2006, pelaksanaan syariat Islam di Aceh dinyatakan secara eksplisit mengatur
kelembagaan yang berwenang dalam memastikan keberlangsungan penerapan syariat
Islam, baik aspek fatwa hukum, pembinaan, pengawasan, maupun eksekusi hukuman.
Awal pembentukannya, Wilayatul
Hisbah hanya bermodalkan keputusan Gubernur dan tunduk di bawah naungan Dinas
Syariat Islam, akan tetapi setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2006 tentang Pemerintahan Aceh, maka Wilayatul Hisbah (WH) merupakan bagian
dari Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) sebagaimana termaktub dalam UUPA
Pasal 244 ayat (2).
Mencermati eksistensi Wilayatul
Hisbah pasca penggabungan dengan Satpol PP, maka tentu banyak persoalan yang
terjadi. Baik dari problem, tugas pokok dan fungsi, kewenangan maupun kiprahnya
sebagai lembaga pengawas syariat Islam yang seharusnya benar-benar eksis dan
menjadi panutan di mata masyarakat.
Akan tetapi fakta di lapangan banyak kasus
terjadi pasca penggabungan dengan Satpol PP. sebut saja masalah perkelahian
antara personil WH dan Satpol PP, masalah pemerkosaan yang dilakukan oleh oknum
Satpol PP dan WH terhadap Siswa di Langsa, Kasus mesum oknum Satpol PP dan WH
di Aceh dan banyak problem lain yang terjadi.
Rumusan Masalah
Adapun yang
menjadi rumusan masalah antara lain:
1. Apakah keberadaan WH dan Satpol
PP sudah sejalan dengan tugas pokok dan fungsinya?
2. Sejauah mana peran Satpol PP dan
WH dalam Penerapan Hukum Islam di Aceh?
3. Problem apa saja yang terjadi
selama ini dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya?.
Tujuan Penulisan
Adapun yang menjadi Tujuan
Penulisan makalah ini antara lain:
- Untuk memahami Tugas Pokok dan Fungsi Satpol PP menurut Undang-Undang
- Untuk memahami Peran Satpol PP dan WH dalam Penerapan Hukum Islam.
- Untuk memahami Problem Satpol PP dan WH dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya.
PEMBAHASAN
- Sejarah Wilayatul Hisbah
Institusi WH sebenarnya bukanlah
lembaga baru dalam tradisi negar Islam. Tradisi Hisbah diletakkan langsung
pondasinya oleh Rasulullah SAW, beliau lah muhtasib (pejabat yang bertugas
melaksanakan hisbah) pertama dalam Islam. Seringkali beliau masuk ke pasar
Madinah mengawasi aktifitas jual beli. Suatu ketika Rasulullah mendapati
seorang penjual gandum berlaku curang dengan menimbun gandum basah yang kering
dan meletakkan gandum kering diatas, beliau memarahi penjual tersebut dan
memerintahkan untuk berlaku jujur.
Wilayatul Hisbah adalah lembaga
resmi Negara yang dibentuk pemerintah Negara Islam. Tugas utamanya adalah
melaksanakan amar ma`ruf nahi mungkar. Istilah wilayah menurut Ibnu
Taimiyyah adalah wewenang dan kekuasaan yang dimiliki oleh institusi pemerintah
untuk menegakkan jihad, keadilan, hudud, melaksanakan amar makruf nahi mungkar,
serta menolong pihak yang teraniaya.
Sedangkan Hisbah bermakna
pengawasan, pengiraan dan perhitungan. Pelembagaan WH dengan struktur yang
lebih sempurna pada masa Umar bin Khatab. Tradisi ini dilanjutnya oleh Bani
Umayyah, Bani Abbasiyah, Turki Usmani sampai akhirnya Aceh pun eksis WH.
- Tugas Pokok Satpol PP dan WH menurut Undang-Undang
Pada
prinsipnya Satpol PP dan WH adalah dua lembaga yang berbeda dasar hukumnya.
Satpol PP diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2004. Satuan Polisi
Pamong Praja adalah perangkat pemerintah daerah dalam memelihara dan
menyelenggarakan ketenteraman dan ketertiban umum serta menegakkan Peraturan
Daerah.
Sementara WH
menurut Qanun Aceh No. 11 Tahun 2004 adalah
lembaga pembantu tugas kepolisian yang bertugas membina, melakukan advokasi dan
melakukan pengawasah amar makruf nahi mungkar dan dapat berfungsi sebagai
Polsus dan PPNS. Jadi jelaslah secara legal formal dua lembaga ini
memiliki payung hukum yang berbeda. Akan tetapi sejalan dengan lahirnya UUPA
maka dua lembaga yang berbeda ini di gabung menjadi satu sehingga
nomenklaturnya menjadi Satpol PP dan WH. Sebagaimana tertuang dalam Qanun Aceh
No.5 Tahun 2007 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Satpol PP dan WH
- Peran WH dan Satpol PP dalam Penerapan Hukum Islam di Aceh.
Aceh merupakan daerah yang mencoba
mengaktualisasi kembali keberadaan WH yang pernah aktif pada masa
khulafaur Rasyidin. Di mana WH inilah yang akan mengawasi penerapan Qanun
Syariat Islam di bumi Serambi Mekkah ini.
Awalnya kehadiran WH di Aceh hanya berlandaskan Keputusan Gubernur No.01 Tahun 2004 tentang Organisasi dan Tata Kerja Wilayatul Hisbah yang tunduk di bawah naungan Dinas Syariat Islam, kemudian status lembaga inipun terus di benahi baik dari segi struktur organisasi maupun kewenangan yang dimiliki.
Awalnya kehadiran WH di Aceh hanya berlandaskan Keputusan Gubernur No.01 Tahun 2004 tentang Organisasi dan Tata Kerja Wilayatul Hisbah yang tunduk di bawah naungan Dinas Syariat Islam, kemudian status lembaga inipun terus di benahi baik dari segi struktur organisasi maupun kewenangan yang dimiliki.
Sejalan dengan Lahirnya UU No.11
Tahun 2006 maka Eksistensi WH digabung dengan Satpol PP, ini dapat dibaca
pada Qanun Aceh No 5 Tahun 2007 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja
Dinas, Lembaga Teknis Daerah dan lembaga Daerah Provinsi Aceh, dengan harapan
lembaga ini menjadi “Polisi Khusus” yang berwenang melakukan pengawasan
terhadap penerapan syariat Islam.
Dalam Qanun ini disebutkan tugas
pokok Satpol PP dan WH adalah memelihara dan menyelenggarakan ketentraman dan
ketertiban umum, menegakkan qanun, Peraturan Kepala Daerah, keputusan kepala
daerah, melakukan sosialisasi, pengawasan, pembinaan, penyidikan dan pembantuan
pelaksanaan hukuman dalam lingkup Peraturan Perundang-undangan di bidang
Syariat Islam.
Untuk menyahuti substansi Qanun ini,
ada keinginan Gubernur untuk meningkatkan status WH, yang sebelumnya dominan
pegawai kontrak, menjadi menjadi Pengawai Negeri Sipil. Langkah tersebut
ditempuh oleh Gubernur Aceh, Bapak Abdullah Puteh agar nantinya WH menjadi PPNS
(Pengawai Penyidik Negeri Sipil). Upaya-upaya mencari jati diripun terus
dilakukan. Training/pendidikan Penyidikpun terus dilakukan dengan mengirim PNS
Satpol PP dan WH agar suatu saat menyadi penyidik, sehingga tugas kepenyidikan
tidak lagi dilakukan oleh kepolisian.
- Problem WH dan Satpol PP dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya.
Ternyata harapan agar eksistensi
lembaga pengawas syariat Islam (WH) pasca penggabungan dengan Satpol PP lebih
baik, pupus sudah. Banyak problem yang terjadi. Sebut saja khasus perkelahian
antara petugas Satpol dengan WH dihari kelahiran lembaga ini.
Bukan hanya itu kasus menghebohkan pun terjadi yaitu pemerkosaan yang dilakukan oleh oknum Satpol PP dan WH di Kota Langsa terhadap siswa Sekolah, serta bayak kasus lainnya terjadi. Lantas mengapa itu bisa terjadi? Hipotesis sementara penulis antara lain: sistem rekruitmen dua lembaga ini perlu di perbaiki, serta keharusan pemisahan kelembagaan antara Satpol PP dan WH menjadi mutlak dilakukan. Disamping itu penulis juga menilai bahwa ‘ghirah” orang-orang yang masuk lembaga ini dikarenakan peluang kerja di tempat lain tidak ada.
Bukan hanya itu kasus menghebohkan pun terjadi yaitu pemerkosaan yang dilakukan oleh oknum Satpol PP dan WH di Kota Langsa terhadap siswa Sekolah, serta bayak kasus lainnya terjadi. Lantas mengapa itu bisa terjadi? Hipotesis sementara penulis antara lain: sistem rekruitmen dua lembaga ini perlu di perbaiki, serta keharusan pemisahan kelembagaan antara Satpol PP dan WH menjadi mutlak dilakukan. Disamping itu penulis juga menilai bahwa ‘ghirah” orang-orang yang masuk lembaga ini dikarenakan peluang kerja di tempat lain tidak ada.
Disamping problem di atas juga ada
problem lain yaitu masih minimnya petugas WH dan Satpol PP yang menjadi
Penyidik, serta lemahnya kewenangan yang dimiliki. Mestinya lembaga ini
benar-benar mendapat perhatian khusus dari pemerintah Aceh. Sistem rekruitmen
personel lembaga ini juga perlu di desain ulang sehingga harapan masyarakat
agar lembaga ini punya wibawa dan kehadirannya benar-benar mendapat tempat istimewa
dimata rakyat Aceh. Semoga saja perlu usaha cerdas dan usaha ikhlas Pemerintah
Aceh dalam mereposisikan kembali WH menjadi lembaga yang mandiri dan berwibawa.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
a. Kesimpulan :
Kiranya Pemerintah Aceh perlu
mendesain sistem rekruitmen dan Diklat teknis terhadap personel Satpol PP dan
WH. Disamping itu fungsi dan kewenangannya di perjelas serta tingkat
kesejahteraan personel lembaga ini perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah
Aceh.
b. Saran-saran
1. Pemerintah perlu mengkaji ulang penggabungan Satpol PP dan WH di Aceh.
2. Sistem Rekruitmen Lembaga ini perlu di benahi, disamping peningkatan SDM
Aparatur menjadi proiritas.
3. Sudah saatnya WH dan Satpol PP di jadikan dua lembaga yang
mandiri. Biarkan Satpol PP fokus pada penegakan Qanun non syariat
dan WH fokus pada Qanun Syariat Islam.
4. Agar usaha untuk memisahkan Satpol PP dan WH berjalan mulus
maka perlu dilakukan revisi atau uji materi terhadap UUPA pasal 244 ayat (2) yang
menyebutkan Gubernur, bupati/walikota dalam menegakkan qanun Syar`iyah dalam
pelaksanaan syari`at Islam dapat membentuk unit Polisi Wilayatul Hisbah sebagai
bagian dari Satuan Polisi Pramong Praja. Semoga saja ada ormas/OKP atau akademisi yang
berhasrat melakukan uji materi Pasal 244 ayat (2) pada Mahkamah Konstitusi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Hafas Furqani, Beberapa
Catatan Wilayatul Hisbah (Artikel); alumni Fak.Syariah UIN Syarif
Hidayatullah
2. Bardawi, WH
dan Pertarungan Syariat (Artikel)
3. Muhammad Syarif, Eksistensi
WH; Refleksi 4 Tahun Penerapan Syariat Islam di Aceh, Buletin Al-Wa`yu
MPU Kota Banda Aceh, 2009.
4. Undang-Undang No.11 Tahun 2006
5. Perda No.5 Tahun 2000
6. Qanun No.11 Tahun 2002.
7. Qanun No.14 Tahun 2003.
8. Qanun No.5 Tahun 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar