Oleh :
Muhammad Syarif,S.HI.,M.H*
Pasca lahirnya Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) tanggal 15 Januari
2014. Banyak ditemukan berbagai penyimpangan yang dilakukan oleh Kepala Daerah
(Gubernur, Walikota, Bupati) terutama menyangkut pengangkatan jabatan pimpinan
tinggi. Penyimpangan tersebut saya istilahkan dengan Dosa Birokrasi Kepala
Daerah. 95 % pengisian jabatan Eselon II (jabatan pimpingan tinggi) cendrung
dipolitisasi.
UU ASN membagi jabatan dalam
tiga kelompok, yaitu: pertama Jabatan Administrasi, kedua Jabatan Fungsional
dan ketiga; Jabatan Pimpinan Tinggi.
Jabatan Administrasi terdiri atas: (a). Jabatan Administrator, yaitu jabatan yang diisi oleh pejabat yang bertanggung jawab memimpin pelaksanaan seluruh kegiatan pelayanan publik serta administrasi pemerintahan dan pembangunan; (b). Jabatan Pengawas, dimana pejabatnya bertanggung jawab mengendalikan pelaksanaan kegiatan yang dilakukan oleh pejabat pelaksana; dan (c). Jabatan Pelaksana, dimana pejabatnya bertanggung jawab melaksanakan kegiatan pelayanan publik serta administrasi pemerintahan dan pembangunan.
Jabatan Administrasi terdiri atas: (a). Jabatan Administrator, yaitu jabatan yang diisi oleh pejabat yang bertanggung jawab memimpin pelaksanaan seluruh kegiatan pelayanan publik serta administrasi pemerintahan dan pembangunan; (b). Jabatan Pengawas, dimana pejabatnya bertanggung jawab mengendalikan pelaksanaan kegiatan yang dilakukan oleh pejabat pelaksana; dan (c). Jabatan Pelaksana, dimana pejabatnya bertanggung jawab melaksanakan kegiatan pelayanan publik serta administrasi pemerintahan dan pembangunan.
“Setiap jabatan sebagaimana
dimaksud ditetapkan sesuai dengan kompetensi yang dibutuhkan, yang akan diatur
dengan Peraturan Pemerintah,” (baca Pasal 16 dan 17 UU ASN). Adapun Jabatan
Fungsional terdiri atas jabatan
fungsional keahlian, yang terdiri dari: a. Ahli utama; b. Ahli madya; c.
Ahli muda; dan d. Ahli pertama; dan jabatan
fungsional ketrampilan, yang terdiri dari: (a). Penyelia; (b).
Mahir; (c). Terampil; dan (d). Pemula. “Ketentuan lebih lanjut mengenai Jabatan
Fungsional diatur dengan Peraturan Pemerintah,” bunyi Pasal 18 Ayat (4) UU ASN.
Sedangkan Jabatan Pimpinan
Tinggi terdiri atas: (a). Jabatan pimpinan tinggi utama; (b). Jabatan
pimpinan tinggi madya; dan (c). Jabatan pimpinan tinggi pratama.
“Jabatan Pimpinan Tinggi sebagaimana
dimaksud berfungsi memimpin dan memotivasi setiap Pegawai ASN pada Instansi
Pemerintah, melalui (a). Kepeloporan dalam bidang keahlian profesional,
analisis dan rekomendasi kebijakan, dan kepemimpinan manajemen; (b).
Pengembangan kerjasama dengan instansi lain; dan (c). Keteladanan dalam
mengamalkan nilai dasar ASN dan melaksanakan kode etik dan kode perilaku ASN,”
bunyi Pasal 19 Ayat (2) UU ASN.
Pengisian
Jabatan
UU ASN ini menegaskan pengisian
jabatan pimpinan tinggi utama dan madya pada kementerian, kesekretariatan
lembaga negara, lembaga nonstruktural dan Instansi Daerah dilakukan secara terbuka dan kompetitif di
kalangan Pegawai Negeri Sipil (PNS) dengan memperhatikan syarat kompetitif,
kualifikasi, kepangkatan, pendidikan dan latihan, rekam jejak jabatan, dan
integritas serta persyaratan lain yang dibutuhkan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
UU ASN ini menegaskan, bahwa
pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi madya di tingkat provinsi dilakukan oleh
Pejabat Pembina Kepegawaian dengan terlebih dahulu membentuk panitia seleksi.
(Baca Pasal 114).
Pengisian Jabatan Pimpinan
Tinggi Pratama meliputi Sekretaris Daerah
kabupaten/kota, kepala dinas provinsi dan kepala dinas kabupaten/kota
dilakukan oleh pejabat Pembina Kepegawaian dengan terlebih dahulu membentuk
panitia seleksi. Panitia seleksi memilih 3 (tiga) nama calon pejabat pimpinan
tinggi untuk setiap 1 (satu) lowongan jabatan. (baca Pasal 115).
UU ASN ini menegaskan, Pejabat
Pembina Kepegawaian dilarang mengganti Pejabat Pimpinan Tinggi selama 2
(dua) tahun terhitung sejak pelantikan, kecuali Pejabat Pimpinan Tinggi
tersebut melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan dan tidak lagi
memenuhi syarat jabatan yang ditentukan.
“Penggantian pejabat pimpinan
tinggi utama dan madya sebelum 2 (dua) tahun dapat dilakukan setelah mendapat
persetujuan Presiden,” bunyi Pasal 116 Ayat (2). Sementara pada Pasal 117
ditegaskan, bahwa Jabatan Pimpinan
Tinggi hanya dapat diduduki paling lama
5 (lima) tahun.
Mengenai Jabatan Pimpinan Tinggi
itu, Pasal 131 UU ASN menyebutkan,
pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, terhadap jabatan PNS dilakukan
penyetaraan:
a. Jabatan eselon Ia kepala lembaga pemerintah non kementerian setara
dengan jabatan pimpinan tinggi utama;
b. Jabatan eselon Ia dan Ib setara dengan
jabatan pimpinan tinggi madya;
c. Jabatan
eselon II setara dengan jabatan
pimpinan tinggi pratama;
d. Jabatan eselon III setara dengan jabatan administrator;
e. Jabatan eselon IV setara dengan jabatan pengawas; dan
f. Jabatan eselon V dan fungsional umum
setara dengan jabatan pelaksana.
Mencermati regulasi ini dapat
disimpulkan bahwa UU ASN memberikan rambu-rambu bagi pejabat pembina
kepegawaian di daerah, terkait pengangkatan pejabat structural antara lain:
Pertama: memberikan
madat kepada Pejabat Pembina Kepegawaian untuk transparan dalam melakukan
rekrutmen pejabat eselon II dan pengisiannya dapat diakses oleh semua PNS yang
telah memenuhi syarat kepangkatan dan kompentensi atas jabatan yang lowong
tersebut. Serta rekrutmennya dengan membentuk panitia seleksi. Panitia seleksi
mengirimkan 3 (tiga) nama kepada pejabat pembina kepegawaian untuk diangkat
satu orang pejabat pada jabatan yang lowong tersebut.
Kedua:
pejabat pembina kepegawaian dilarang memutasi pejabat Eselon II yang baru
dilantik sebelum 2 tahun masa tugas kecuali pejabat tersebut melanggar
ketentuan perundang-undangan.
Ketiga: masa
kepemimpinan jabatan Tinggi paling lama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang
berdasarkan pencapaian kinerja, kesesuaian kompetensi dan berdasarkan kebutuhan
instansi setelah mendapat persetujuan pejabat pembina kepegawaian dan
berkoordinasi dengan Komisi ASN.
Sejatinya UUASN menjadi pedoman
bagi Kepala Daerah dalam melakukan penataan dan pembinaan karir pegawai, bukan
malah sebaliknya. Ada kesan Kepala Daerah dalam melakukan perombakan kabinet berlaku
asas suka dan tidak suka. Celakanya lagi dibeberapa Kabupaten/Kota di Aceh perombakan
kabinet berlangsung superkilat alias tiap tiga atau enam bulan sekali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar