Politik adalah seni
dan ilmu untuk meraih kekuasaan baik secara konstitusional maupun non
konstitusional. Aristoteles beranggapan bahwa politik adalah usaha yang
ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama. Sementara sufi
bermakna suci hati dan perbuatan. Jadi Politik sufi adalah strategi atau cara
meraih kekuasaan dengan cara-cara yang terpuji baik dilakukan secara
konstitusional maupun non konstitusional. Kekuasaan yang diperoleh tanpa
menginjak dan mencerai hak-hak orang lain, bahkan yang terjadi saat ini adalah
“politik jurus mabuk”.
Ada ungkapan yang
bijak: “Siapa pun yang minum dari cawan kekuasaan, ia pasti terjatuh dari
keikhlasaan seorang hamba," begitulah pendirian para sufi. Kalimat bijak ini
sangat besar artinya bagi kaum sufi. Al-Ghazali menjadikan pendirian ini
sebagai satu pondasi dalam penemuan sifat ikhlas dalam diri seorang hamba.
Keterlibatan dalam dunia politik akan sangat mengganggu kemurnian hati sang
sufi. Makanya cukup menarik ketika J. Spencer Brimingham malah menulis satu sub
judul: "Peran Politik Kelompok Sufi" dalam bukunya The Sufi Orders in Islam. Orientalis
asal Inggris itu secara khusus menulis aktivitas politik kaum sufi di berbagai
belahan dunia.
Dalam kehidupan alam nyata
hampir tidak dapat ditemukan lakon “politik sufi”, justru yang banyak kita
lihat berbagai praktek kecurangan dipertontonkan oleh orang-orang (politisi)
dalam meraih hasrat politiknya. Politik cendrung menghalalkan berbagai cara.
Asal tujuannya tercapai, sikut-kiri kanan, injak kawan, fitnah, hasut, dengki
dan lain sebagainya menjadi senjata pamungkas guna menjatuhkan lawan
politiknya. Politik itu ngeri-ngeri sedap. Seorang politikus harus nekat,
berani dan punya cukup amunisi baik materi maupun immateril (intelektual).
Kehidupan politik
umumnya tampilan luar manis, akan tetapi makna hakikinya sulit ditebak. Angka
matematis tidak berlaku disitu. Dua tambah dua tidak mesti empat, bisa lima,
enam bahkan puluhan. Politik itu kejam. Gara-gara beda pandangan dianggap musuh
bahkan bisa dicap sebagai pengkianat. Sang ketua menjadi power pamungkas, jika ada yang coba-coba melawan sangketua bakal
dikutuk alias dileyapkan dari peredaran dunia “persilatan politik”.
Lantas apakah kita
harus pesimis akan lahir sosok politikus sufi? Jawabannya Tentu tidak. Kita
harus yakin diantara seribu akan lahir sosok insan yang memiliki semangat
perubahan dalam alam perpolitikan Indonesia yang saat ini begitu carut-marut.
Paling tidak politik sufi itu lahir di tanah rencong. Potensi akan lahirnya
politik sufi sangat besar, jika kaderisasi dan pendidikan politik dimainkan
oleh politikus di Aceh. warna politik harus dimulai dari parpol politik lokal. Gerakan
politiknya harus benar-benar santun dan bermartabat. Karna itulah yang menjadi
pembeda antara partai politik lokal dengan partai politik nasional. Kalau tidak,
maka sesungguhnya kehadiran partai politik lokal menurut saya tidak membawa
perubahan yang fundamental dalam sistem ketata negaraan Indonesia khususnya di
Aceh. yang ada hanyalah perbedaan yurisdiksi teritorial saja, sementara yang
lainnya sama saja. Wallahu `alam binshawab
* Direktur Aceh Research Institute
Tidak ada komentar:
Posting Komentar