Rabu, 04 Februari 2015

Zakat Fitrah dan Kesadaran Sosial



Oleh Zahrul Bawady M. Daud

Hampir tidak ada perbedaan ulama tentang wajibnya zakat fitrah bagi kaum muslimin. Imam Baihaqi bahkan menyebut bahwa terdapat konsensus ulama terhadap kewajiban zakat fitrah. Satu dalil yang paling sering disebut ulama adalah hadis dari Ibn Umar: “Diwajibkan atas setiap umat Islam baik merdeka maupun budak, lelaki dan perempuan untuk membayar zakat fitrah pada bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari dan Muslim).


Pendapat bertentangan diceritakan Imam ‘Imrany, ulama mazhab Syafii dalam kitab Al Bayan. ‘Imrany menulis: Ulayyah berpendapat zakat fitrah hukumnya sunnah. Dalilnya hadis Qais bin Said: “Nabi memerintahkan kami membayar zakat fitrah sebelum kewajiban zakat secara umum. Setelah itu nabi tidak memerintahkan dan tidak melarang, sedangkan kami mengerjakannya.” (HR. Nasai)
Hadis Qais dikritik oleh Imam Nawawi di dalam Al Majmu’ dengan beberapa kritikan. Di antaranya adalah Abi Ammar, satu perawi hadis ini tidak diketahui keadaannya oleh ulama hadis. Selain itu, menurut Imam Nawawi tidak ada dalil tegas yang menyebutkan gugurnya kewajiban zakat fitrah. Adapun hadis Qais yang menyebut Nabi tidak memerintahkan tidak mengandung unsur pembatalan. Karena tidak mesti perintah wajibnya fitrah itu disebut berulang.

Memiliki kemudahan
Zakat fitrah dikeluarkan oleh seorang muslim, merdeka dan memiliki kemudahan. Seseorang dapat dikategorikan memiliki kemudahan apabila memiliki pangan yang mencukupi dirinya dan orang di bawah tanggungannya untuk malam dan hari lebaran. Fitrah ditunaikan oleh masing-masing individu, atau atas nama tiap individu oleh orang yang bertanggung jawab atas mereka, dikarenakan adanya hubungan kekeluargaan atau perkawinan.

Menurut mazhab jadid (mazhab baru Imam Syafii setelah di Mesir) kewajiban zakat fitrah jatuh setelah terbenamnya matahari pada akhir bulan Ramadhan. Barang siapa yang hidup sebelum terbenamnya matahari, maka wajib atas mereka membayar fitrah.
Adapun pelaksanaan pembayaran zakat fitrah sebelum waktunya sebagaimana lazimnya kita lakukan dibolehkan oleh mayoritas ulama mazhab Syafii. Imam Rafii dan ulama lainnya membatasi bulan Ramadhan penuh sebagai waktu pelaksanaanya. Hal ini agar pengutipan, pengumpulan dan pembagiannya mudah dan dapat dirasakan manfaatnya oleh orang yang membutuhkan dengan segera.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar