Rabu, 04 Februari 2015

Gugat Jokowi: Class Action atau Citizen Lawsuit?



Oleh : Wilopo Husodo

Tulisan ini bukan ditujukan untuk pembicaraan politik, apalagi melancarkan serangan politik terhadap presiden tertentu. Melainkan, tulisan ini ditujukan semata-mata sebagai bahan diskusi seputar dunia hukum dan perkembangan sistem hukum maupun peradilan di Indonesia, khususnya dalam ranah litigasi perdata.

Mengamati perkembangan yang terjadi setelah pengumuman kenaikan harga BBM pada tanggal 17 November 2014 oleh Presiden Jokowi, reaksi masyarakat bermunculan mulai dari demonstrasi hingga adanya isu impeachment. Namun bagi kalangan praktisi hukum (khususnya pengacara), isu yang sangat mencuri perhatian adalah adanya rencana untuk mengajukan suatu gugatan terhadap pemerintah in casu Presiden terkait dengan kenaikan harga BBM.


Rencana untuk melayangkan gugatan terhadap Presiden Jokowi terkait kenaikan BBM telah disuarakan oleh pengacara melalui siaran pers pada tanggal 18 November 2014 di mana model gugatan yang akan diajukan adalah dengan mekanisme gugatan class action. Sebelumnya, pada tahun 2013, gugatan atas kenaikan BBM pernah diajukan oleh seorang pengacara terhadap Presiden SBY di mana gugatan tersebut didaftarkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan menggunakan model gugatan citizen lawsuit, namun sayangnya gugatan tersebut kandas atau tidak dapat diterima oleh majelis hakim karena tidak memenuhi syarat formil bagi sebuah gugatan citizen lawsuit.

Pada dasarnya, model gugatan class action (CA) maupun citizen lawsuit (CLS) bukanlah barang baru, karena kedua model gugatan tersebut pernah diajukan sebelumnya terhadap kasus-kasus yang menimpa kepentingan publik. Meskipun demikian, faktanya gugatan CLS hingga kini belum memiliki dasar hukum yang mengatur secara rinci mengenai mekanisme gugatan CLS, dan sebaliknya untuk gugatan CA telah diatur oleh Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 1 Tahun 2002 tentang Tata Cara Penerapan Gugatan Perwakilan Kelompok.

Sebagai gambaran, perlu diuraikan sedikit mengenai model gugatan CA dan gugatan CLS. Menurut Perma No. 1 tahun 2002, Gugatan Perwakilan Kelompok adalah suatu tata cara pengajuan gugatan, dalam mana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk diri atau diri-diri mereka sendiri dan sekaligus mewakili kelompok orang yang jumlahnya banyak, yang memiliki kesamaan fakta atau dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompok dimaksud. 

Jadi dapat disimpulkan bahwa dalam model Class Action harus terdapat unsur kesamaan fakta dan dasar hukum dalam sebuah kelompok yang mengajukan gugatan. Hal penting lainnya yang harus diperhatikan dalam gugatan CA adalah, bahwa gugatan class action harus memuat tuntutan (petitum) tentang ganti rugi secara jelas dan rinci, serta memuat usulan tentang mekanisme atau tata cara pendistribusian ganti kerugian kepada keseluruhan anggota kelompok termasuk usulan tentang pembentukan tim atau panel yang membantu memperlancar pendistribusian ganti kerugian.

Sedangkan gugatan CLS, adalah mekanisme gugatan bagi warga negara untuk menggugat tanggung jawab penyelenggara negara atas kelalaian dalam memenuhi hak-hak warga negara. Kelalaian tersebut didalilkan sebagai Perbuatan Melawan Hukum, sehingga CLS diajukan pada lingkup peradilan umum dalam perkara perdata. Namun karena belum ada dasar hukumnya, rincian ganti rugi dalam gugatan CLS tidak dapat ditentukan dengan pasti dan bahkan persyaratan formalnya tidak terdapat keseragaman pendapat di kalangan majelis hakim yang memeriksa perkara CLS.  Selain itu, seringkali majelis hakim Pengadilan Negeri melakukan suatu terobosan hukum dalam memeriksa gugatan CLS, yakni dengan menerapkan kebiasaan yang berlaku di negara lain sehubungan dengan model gugatan CLS. Adapun terobosan tersebut dengan menerapkan sistem CLS yang berlaku di Amerika Serikat, di mana sebelum gugatan diajukan penggugat harus mengirimkan pemberitahuan (notice) atau sejenis somasi kepada pihak tergugat dalam hal ini pemerintah.

Uniknya beberapa kasus yang menggunakan gugatan CLS, meskipun belum ada dasar hukumnya, dapat didaftarkan dan bahkan diperiksa oleh majelis hakim pengadilan negeri di Indonesia. Beberapa contoh kasus gugatan CLS yang pernah didaftarkan di Indonesia antara lain: gugatan atas nama Munir Cs atas penelantaran negara terhadap TKI migran yang dideportasikan di Nunukan dalam perkara No. 28/Pdt.G/2003/PN.JKT.PST., gugatan tukang becak terhadap Penguasa dalam perkara No. 50/Pdt.G/2000/PN.JKT.PST, dan gugatan yang juga diajukan oleh LBH Jakarta atas penyelenggaraan Ujian Nasional dalam perkara No. 228/Pdt.G/2007/PN.Jkt.Pusat.

Sedangkan kasus-kasus yang menggunakan gugatan CA telah banyak digunakan dan ada di antaranya dikabulkan oleh majelis hakim pengadilan negeri, yakni dalam perkara No.83/Pdt.G/2002/PN.JKT.PST dalam kasus banjir Jakarta tahun 2002, dan juga terdapat gugatan Class Action dalam perkara No. 104.Pdt.G/2012/PN.JR mengenai gugatan pedagang pasar terhadap Bupati Jember dan DPRD Kabupaten Jember, selain itu juga dalam perkara No. 59/Pdt.G/2009/PN.Ska mengenai gugatan warga masyarakat yang bermukim di wilayah bantaran Sungai Bengawan Solo.
Sekarang pilihan ada di tangan para pengacara yang hendak mengajukan gugatan terhadap Presiden Jokowi terkait kenaikan harga BBM, apakah menggunakan model gugatan CA atau gugatan CLS. Kedua model gugatan tersebut pernah dilakukan dan bahkan diperiksa hingga tingkat Mahkamah Agung. Pada akhirnya, apa pun jenis gugatan yang diajukan, akan semakin meningkatkan kesadaran hukum masyarakat serta menambah khazanah ilmu bagi sistem hukum di Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar