Oleh : Wilopo Husodo
Tulisan ini bukan ditujukan untuk pembicaraan politik,
apalagi melancarkan serangan politik terhadap presiden tertentu. Melainkan,
tulisan ini ditujukan semata-mata sebagai bahan diskusi seputar dunia hukum dan
perkembangan sistem hukum maupun peradilan di Indonesia, khususnya dalam ranah
litigasi perdata.
Mengamati perkembangan yang terjadi setelah pengumuman
kenaikan harga BBM pada tanggal 17 November 2014 oleh Presiden Jokowi, reaksi
masyarakat bermunculan mulai dari demonstrasi hingga adanya isu impeachment.
Namun bagi kalangan praktisi hukum (khususnya pengacara), isu yang sangat mencuri
perhatian adalah adanya rencana untuk mengajukan suatu gugatan terhadap
pemerintah in casu Presiden terkait dengan kenaikan harga BBM.
Rencana untuk melayangkan gugatan terhadap Presiden
Jokowi terkait kenaikan BBM telah disuarakan oleh pengacara melalui siaran pers
pada tanggal 18 November 2014 di mana model gugatan yang akan diajukan adalah
dengan mekanisme gugatan class action. Sebelumnya, pada tahun 2013,
gugatan atas kenaikan BBM pernah diajukan oleh seorang pengacara terhadap
Presiden SBY di mana gugatan tersebut didaftarkan di Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat dengan menggunakan model gugatan citizen lawsuit, namun sayangnya
gugatan tersebut kandas atau tidak dapat diterima oleh majelis hakim karena
tidak memenuhi syarat formil bagi sebuah gugatan citizen lawsuit.
Pada dasarnya, model gugatan class action (CA)
maupun citizen lawsuit (CLS) bukanlah barang baru, karena kedua model
gugatan tersebut pernah diajukan sebelumnya terhadap kasus-kasus yang menimpa
kepentingan publik. Meskipun demikian, faktanya gugatan CLS hingga kini belum
memiliki dasar hukum yang mengatur secara rinci mengenai mekanisme gugatan CLS,
dan sebaliknya untuk gugatan CA telah diatur oleh Peraturan Mahkamah Agung
(Perma) No. 1 Tahun 2002 tentang Tata Cara Penerapan Gugatan Perwakilan
Kelompok.
Sebagai gambaran, perlu diuraikan sedikit mengenai
model gugatan CA dan gugatan CLS. Menurut Perma No. 1 tahun 2002, Gugatan
Perwakilan Kelompok adalah suatu tata cara pengajuan gugatan, dalam mana satu
orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk diri atau
diri-diri mereka sendiri dan sekaligus mewakili kelompok orang yang jumlahnya
banyak, yang memiliki kesamaan fakta atau dasar hukum antara wakil kelompok dan
anggota kelompok dimaksud.
Jadi dapat disimpulkan bahwa dalam model Class
Action harus terdapat unsur kesamaan fakta dan dasar hukum dalam sebuah
kelompok yang mengajukan gugatan. Hal penting lainnya yang harus diperhatikan
dalam gugatan CA adalah, bahwa gugatan class action harus memuat
tuntutan (petitum) tentang ganti rugi secara jelas dan rinci, serta memuat
usulan tentang mekanisme atau tata cara pendistribusian ganti kerugian kepada
keseluruhan anggota kelompok termasuk usulan tentang pembentukan tim atau panel
yang membantu memperlancar pendistribusian ganti kerugian.
Sedangkan gugatan CLS, adalah mekanisme gugatan bagi
warga negara untuk menggugat tanggung jawab penyelenggara negara atas kelalaian
dalam memenuhi hak-hak warga negara. Kelalaian tersebut didalilkan sebagai
Perbuatan Melawan Hukum, sehingga CLS diajukan pada lingkup peradilan
umum dalam perkara perdata. Namun karena belum ada dasar hukumnya, rincian
ganti rugi dalam gugatan CLS tidak dapat ditentukan dengan pasti dan bahkan
persyaratan formalnya tidak terdapat keseragaman pendapat di kalangan majelis
hakim yang memeriksa perkara CLS. Selain itu, seringkali majelis hakim
Pengadilan Negeri melakukan suatu terobosan hukum dalam memeriksa gugatan CLS,
yakni dengan menerapkan kebiasaan yang berlaku di negara lain sehubungan dengan
model gugatan CLS. Adapun terobosan tersebut dengan menerapkan sistem CLS yang
berlaku di Amerika Serikat, di mana sebelum gugatan diajukan penggugat harus
mengirimkan pemberitahuan (notice) atau sejenis somasi kepada pihak
tergugat dalam hal ini pemerintah.
Uniknya beberapa kasus yang menggunakan gugatan CLS,
meskipun belum ada dasar hukumnya, dapat didaftarkan dan bahkan diperiksa oleh
majelis hakim pengadilan negeri di Indonesia. Beberapa contoh kasus gugatan CLS
yang pernah didaftarkan di Indonesia antara lain: gugatan atas nama Munir
Cs atas penelantaran negara terhadap TKI migran yang dideportasikan di Nunukan
dalam perkara No. 28/Pdt.G/2003/PN.JKT.PST., gugatan tukang becak terhadap
Penguasa dalam perkara No. 50/Pdt.G/2000/PN.JKT.PST, dan gugatan yang juga
diajukan oleh LBH Jakarta atas penyelenggaraan Ujian Nasional dalam perkara No.
228/Pdt.G/2007/PN.Jkt.Pusat.
Sedangkan kasus-kasus yang menggunakan gugatan CA
telah banyak digunakan dan ada di antaranya dikabulkan oleh majelis hakim
pengadilan negeri, yakni dalam perkara No.83/Pdt.G/2002/PN.JKT.PST dalam kasus
banjir Jakarta tahun 2002, dan juga terdapat gugatan Class Action dalam perkara
No. 104.Pdt.G/2012/PN.JR mengenai gugatan pedagang pasar terhadap Bupati Jember
dan DPRD Kabupaten Jember, selain itu juga dalam perkara No.
59/Pdt.G/2009/PN.Ska mengenai gugatan warga masyarakat yang bermukim di wilayah
bantaran Sungai Bengawan Solo.
Sekarang pilihan ada di tangan para pengacara yang
hendak mengajukan gugatan terhadap Presiden Jokowi terkait kenaikan harga BBM,
apakah menggunakan model gugatan CA atau gugatan CLS. Kedua model gugatan
tersebut pernah dilakukan dan bahkan diperiksa hingga tingkat Mahkamah Agung.
Pada akhirnya, apa pun jenis gugatan yang diajukan, akan semakin meningkatkan
kesadaran hukum masyarakat serta menambah khazanah ilmu bagi sistem hukum di
Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar